Abbas Qasim Ibnu Firnas (810 – 888): Peletak Dasar Konsep Pesawat Terbang

DKM Al-Hadi SMPN 1 Bogor


BICARA soal dunia penerbangan, tak pernah lepas dari tokoh-tokoh semacam Sir George Cayley, Otto Lilienthal, Santos-Dumont dan Wright Bersaudara. Merekalah yang dikenal berjasa merintis dunia penerbangan hingga menjelma menjadi industri modern seperti sekarang ini. Tapi apakah anda tahu bahwa peletak dasar konsep pesawat terbang pertama adalah seorang ilmuwan Muslim dari Spanyol, Abbas Ibnu Firnas. Dialah orang pertama dalam sejarah yang melakukan pendekatan sains dalam mempelajari proses terbang. Ibnu Firnas pun layak disebut sebagai manusia pertama yang terbang, ribuan tahun sebelum Wright Bersaudara berhasil melakukannya.

Abbas Qasim Ibnu Firnas (di Barat dikenal dengan nama Armen Firman) dilahirkan pada tahun 810 Masehi di Izn-Rand Onda, Al-Andalus (kini Ronda, Spanyol). Dia dikenal ahli dalam berbagai disiplin ilmu, selain seorang ahli kimia, ia juga seorang humanis, penemu, musisi, ahli ilmu alam, penulis puisi, dan seorang penggiat teknologi. Pria keturunan Maroko ini hidup pada saat pemerintahan Khalifah Umayyah di Andalusia (Spanyol).

Pada tahun 852, di bawah pemerintahan Khalifah Abdul Rahman II, Ibnu Firnas memutuskan untuk melakukan ujicoba ‘terbang’ dari menara Masjid Mezquita di Cordoba dengan menggunakan semacam sayap dari jubah yang disangga kayu. Sayap buatan itu ternyata membuatnya melayang sebentar di udara dan memperlambat jatuhnya, ia pun berhasil mendarat walau dengan cedera ringan. Alat yang digunakan Ibnu Firnas inilah yang kemudian dikenal sebagai parasut pertama di dunia.

Keberhasilannya itu tak lantas membuatnya berpuas diri. Dia kembali melakukan serangkaian penelitian dan pengembangan konsep serta teori yang ia adopsi dari gejala-gejala alam yang kerap diperhatikannya.

Pada tahun 875, saat usianya menginjak 65 tahun, Ibnu Firnas merancang dan membuat sebuah mesin terbang yang mampu membawa manusia. Setelah versi finalnya berhasil dibuat, ia sengaja mengundang orang-orang Cordoba untuk turut menyaksikan penerbangan bersejarahnya di Jabal Al-‘Arus (Mount of the Bride) di kawasan Rusafa, dekat Cordoba.

Penerbangan yang disaksikan secara luas oleh masyarakat itu terbilang sangat sukses. Sayangnya, karena cara meluncur yang kurang baik, Ibnu Firnas terhempas ke tanah bersama pesawat layang buatannya. Dia pun mengalami cedera punggung yang sangat parah. Cederanya inilah yang membuat Ibnu Firnas tak berdaya untuk melakukan ujicoba berikutnya.

Kecelakaan itu terjadi karena Ibnu Firnas lalai memperhatikan bagaimana burung menggunakan ekor mereka untuk mendarat. Dia pun lupa untuk menambahkan ekor pada model pesawat layang buatannya. Kelalaiannya inilah yang mengakibatkan dia gagal mendaratkan pesawat ciptaannya dengan sempurna.

Cedera punggung yang tak kunjung sembuh mengantarkan Ibnu Firnas pada proyek-proyek penelitian di laboratorium. Seperti biasanya, ia meneliti gejala-gejala alam di antaranya mempelajari mekanisme terjadinya halilintar dan kilat, menentukan tabel-tabel astronomis, dan merancang jam air yang disebut Al-Maqata. Ibnu Firnas pun berhasil mengembangkan formula untuk membuat gelas dari pasir. Juga mengembangkan peraga rantai cincin yang digunakan untuk memperlihatkan pergerakan planet-planet dan bintang-bintang.

Yang tak kalah menariknya, Firnas berhasil mengembangkan proses pemotongan batu kristal, yang pada saat itu hanya orang-orang Mesir yang mampu melakukannya. Berkat penemuannya ini, Spanyol saat itu tidak perlu lagi mengekspor quartz ke Mesir, tapi bisa diselesaikan sendiri di dalam negeri.

Abbas Ibnu Firnas wafat pada tahun 888, dalam keadaan berjuang menyembuhkan cedera punggung yang diderita akibat kegagalan melakukan ujicoba pesawat layang buatannya.

Walaupun percobaan terbang menggunakan sepasang sayap dari bulu dan rangka kayu tidak berhasil dengan sempurna, namun gagasan inovatif Ibnu Firnas kemudian dipelajari Roger Bacon 500 tahun setelah Firnas meletakkan teori-teori dasar pesawat terbangnya. Kemudian sekitar 200 tahun setelah Bacon (700 tahun pascaujicoba Ibnu Firnas), barulah konsep dan teori pesawat terbang dikembangkan.

Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa gegap gempitanya industri pesawat terbang modern seperti saat ini, tidak lepas dari perjuangan seorang Ibnu Firnas yang rela babak belur untuk sekadar melayang sebentar layaknya burung terbang.

Sosok Abbas Ibnu Firnas, kini hanya bisa kita temui tercetak di atas sebuah prangko buatan Libia, menjelma pada sosok patung dan nama lapangan terbang di Baghdad, dan abadi di salah satu kawah permukaan Bulan.

Galeri SERAGAM BIRU

DKM Al-Hadi SMPN 1 Bogor

Ok Tim Nasyid Andalan SMPN 1 lagi tampil tuu
Waah sudah pada bosen

Wee itu lagi nerangin tau aja kamera

Waah yang paling narsis cuuy aslinya gag lulus sensor apalagi yang sebelah kanan
trio macan Next>> Generation

Hati-hati ketua DKM Kita laginyedot tali sepatu..^^

Ssssst.. Pak Oman sedang memberikan sambutan

Waah entah apa yang bisa kukatakan....tapi rasanya ....

Bersama kamera kita kembali

Wees gaya cuy!
Ahh gag seru

Keadaan peserta
Khairul yang bergaya

Baca Qur'an ??

Nasyeed team(reverse angel)

KEPEMIMPINAN ISLAM; KEPEMIMPINAN TUNGGAL, BUKAN KOLEKTIF

DKM Al-Hadi SMPN 1 Bogor

Al Qiyadah, ar ri-asah, al imarah itu maknanya sama. Begitu pula al qaid, ar rais, al amir maknanya juga sama. Hanya saja, khilafah --sekalipun ia merupakan kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia-- namun khilafah maknanya lebih khusus dari pada imarah. Begitu pula khalifah maknanya lebih khusus dari pada amir.

Karena kata imarah boleh jadi dipergunakan untuk makna khilafah, dan boleh jadi untuk yang lain, seperti imaratul jaisy (kepemimpinan pasukan), imaratul wilayah (pemerintahan daerah), imaratul jama'ah (kepemimpinan jama'ah). Karena itu, imarah lebih umum daripada khilafah. Dimana amir boleh jadi adalah khalifah, pimpinan daerah, komandan pasukan, ketua jama'ah atau ketua rombongan. Begitu pula amir lebih umum dari pada khalifah, sehingga kata khilafah merupakan kata tertentu dengan pengertian sebuah jabatan yang telah masyhur. Sedangkan kata imarah merupakan kata yang bisa berlaku umum untuk semua pemimpin.
Islam mewajibkan hanya ada satu pemimpin dalam satu bidang dan tidak membolehkan ada pemimpin lebih dari satu orang. Islam tidak mengenal apa yang disebut dengan kepemimpinan kolektif (kelompok). Namun, kepemimpinan yang ada di dalam Islam hanyalah satu (tunggal). Karena itu, hukum pemimpin yang ada wajib satu. Dalil yang membahas tentang hal tersebut adalah hadits-hadits dan perbuatan-perbuatan Rasulullah saw.. Abdullah Bin Amru meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Tidaklah halal, bagi tiga orang yang berada di tanah lapang, kecuali mereka (bertiga) dipimpin oleh salah seorang di antara mereka."
Abi Sa'id meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Apabila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaknya mereka (bertiga) dipimpin oleh salah seorang di antara mereka."
Al Bazzaz mengeluarkan sebuah hadits dengan sanad yang sahih, dari Umar Bin Khattab dengan lafadz:

"Apabila kalian, bertiga dalam suatu perjalanan, maka hendaknya kalian (bertiga) dipimpin oleh salah seorang di antara kalian."
Juga ada hadits yang diriwayatkan dari Imam At Thabari dari Ibnu Mas'ud dengan sanad yang sahih:

"Apabila mereka bertiga, maka mereka harus dipimpin oleh salah seorang di antara mereka."
Hadits-hadits di atas, semuanya menunjukkan bahwa pemimpin harus satu orang (tunggal). "... kecuali mereka (bertiga) dipimpin oleh salah seorang di antara mereka (ahaduhum)", "... maka hendaknya mereka (bertiga) dipimpin oleh salah seorang di antara mereka (ahaduhum)", "...maka hendaknya kalian (bertiga) dipimpin oleh salah seorang di antara kalian (ahadukum)", "...maka mereka harus dipimpin oleh salah seorang di antara mereka (ahaduhum)". Kata ahad adalah sama maknanya dengan kata wahid, yang menunjukkan pada jumlah satu, tidak lebih. Hal itu bisa difahami dari mafhum mukhalafah, karena mafhum mukhalafah yang ada dalam kata bilangan (ismul 'adad), maupun kata sifat bisa dipergunakan tanpa memerlukan dalil apapun. Seperti firman Allah SWT.:

"Katakanlah (wahai Muhammad): "Allah itu satu."
Pengertiannya adalah Dia itu tunggal, yang tidak ada duanya. Karena itu, mafhum mukhalafah tidak bisa digugurkan kecuali kalau ada nash (dalil) yang menggugurkannya. Sebagaimana firman Allah:

"Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian." (Q.S. An Nur: 33)
Mafhum mukhalafah dari ayat ini adalah apabila mereka tidak menginginkan kesucian, maka mereka boleh dipaksa melakukan pelacuran. Mafhum ini gugur karena adanya firman Allah yang menyatakan:

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk." (Q.S. Al Isra': 32)
Karena itu, selama tidak ada satu nash (dalil) pun yang menggugurkan mafhum mukhalafah tersebut, berarti mafhum tersebut tetap dipergunakan. Seperti firman Allah SWT.:

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera." (Q.S. An Nur: 2)
Dera di dalam ayat ini ditentukan sebanyak seratus kali dera, maka ketentuan dengan sejumlah tertentu ini menunjukkan ketidakbolehkan menambah lebih dari seratus kali dera.
Oleh karena itu sabda Rasulullah saw. di dalam hadits-hadits berikut ini: "... maka hendaknya mereka (bertiga) dipimpin oleh salah seorang di antara mereka (ahaduhum)", "... kecuali mereka (bertiga) dipimpin oleh salah seorang di antara mereka.", "... maka hendaknya kalian (bertiga) dipimpin oleh salah seorang di antara kalian (ahadukum)", menunjukkan adanya mafhum mukhalafah bahwa tidak diperbolehkan dipimpin oleh lebih dari satu orang. Karena itulah, berdasarkan nash hadits-hadits tersebut maka kepemimpinan yang ada --di dalam Islam-- harus dipegang oleh satu orang saja dan tidak diperbolehkan secara mutlak dipegang oleh lebih dari satu orang. Baik berdasarkan makna yang tersurat (mantuq) maupun makna yang tersirat (mafhum).
Hal itu juga diperkuat oleh perbuatan Rasulullah saw. dalam berbagai peristiwa yang beliau pimpin, dimana beliau selalu memimpin sendiri dengan seorang diri tanpa yang lain. Dan secara mutlak, dalam satu tempat tidak pernah dipimpin oleh lebih dari satu orang.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau mengutus Mu'adz dan Abu Musa Al Asy'ari yang bersabda kepada mereka berdua:
"Kalian berdua seharusnya berbuat kemudahan, dan jangan mempersulit; memberi berita ceria, dan jangan berita menyedihkan serta berbuat dengan penuh suka rela."
sebenarnya beliau mengutus masing-masing di antara mereka ke Yaman dengan arah yang berlainan --karena luasnya wilayah Yaman saat itu-- dan bukan ke satu tempat.
Sedangkan hadits --tentang pengiriman mereka-- yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan menggunakan dua nash. Di antaranya ada yang menyatakan, bahwa keduanya diutus menuju ke dua tempat, dimana Imam Bukhari berkata: "Kami diberitahu Musa: Kami diberitahu Abu 'Iwanah: Kami diberitahu oleh Abdul Malik, dari Abi Burdah yang berkata: Rasulullah saw. pernah mengutus Abu Musa Al Asy'ari dan Mu'ad ke Yaman. Dia (Abi Burdah) berkata: Beliau mengutus masing-masing orang di antara mereka ke tempat yang berbeda. Beliau saw. bersabda: 'Yaman itu dipilah menjadi dua.' Lalu beliau bersabda: 'Kalian berdua seharusnya berbuat kemudahan, dan jangan mempersulit; memberi berita ceria, dan jangan berita menyedihkan.' Kemudian masing-masing berangkat ke tempat tugasnya sendiri-sendiri."
Karena itu, tidak diperbolehkan dalam satu urusan dipimpin oleh dua pimpinan, begitu pula di dalam satu tempat tidak boleh ada dua pimpinan. Melainkan pimpinan itu hukumnya wajib hanya satu, bahkan haram kalau sendainya lebih dari satu.
Praktek membentuk kepemimpinan kolektif yang mentradisi di negeri kaum muslimin, atas nama majelis, komite, lembaga eksekutif atau sejenisnya, yang memiliki wewenang pemimpin, maka semuanya jelas bertentangan dengan hukum syara' kalau kepemimpinan tersebut diberikan kepada lembaga, majelis atau komite tersebut. Karena, hal itu jelas telah memberikan kepemimpinan tersebut kepada sekelompok orang (kolektif). Dimana hal itu jelas haram berdasarkan hadits-hadits di atas.
Sedangkan kalau komite, majelis, atau lembaga tersebut ada dalam rangka untuk mengemban tugas dan memberikan kritik dalamberbagai bidang; termasuk melaksanakan syura, maka jelas hal itu boleh. Karena hal itu berasal dari Islam, bahkan itu merupakan sesuatu yang dipuji oleh kaum muslimin, dimana urusan mereka, mereka bicarakan di antara mereka. Kemudian pendapat lembaga tersebut, yang dinilai dari segi pendapat, ketika itu harus diperoleh melalui suara mayoritas apabila berkaitan dengan pelaksanaan suatu perbuatan. Dan hanya sekedar pendapat yang kuat, kalau yang dibahas ternyata berkaitan dengan hukum, pandangan yang mengarah pada pemikiran, serta pandangan-pandangan yang bersifat empirik dan definisi-definisi.