IMAM HASAN

DKM Al-Hadi SMPN 1 Bogor

,

Seorang sufi bernama Imam Hasan Al Bashri amat
meyakini janji Allah ini. Alkisah, beliau suatu hari
kedatangan 6 orang tamu. Sebagai seorang muslim,
memuliakan tamu adalah hal yang diperintahkan agama.

Imam menerima tamu dengan wajah sumringah. Semua tamu
yang hadir ia persilahkan masuk dan duduk di kursi
yang tersedia di ruang depan rumah. Usai semua tamu
masuk ke dalam rumah, Imam Hasan pergi ke dapur. Saat
itu, hanya ia dan seorang budaknya yang ada di rumah.

Imam Hasan bertanya kepada budaknya, "Makanan apa yang
ada di rumah ini hingga bisa dihidangkan untuk
tamu-tamuku?" Sang budak, membuka lemari makanan dan
tiada yang ia temui selain sepotong roti saja. Ia
sampaikan kepada Imam Hasan hal tersebut.

Sedikit berkerut kulit dahi Imam terlihat, pertanda
beliau berpikir serius bagaimana cara menghidangkan
sepotong roti itu untuk enam orang tamunya. Sejurus
kemudian, Imam berkata setelah mengambil sikap, "Sudah
begini saja..., bawalah roti itu dan cari orang yang
dapat menerimanya sebagai sedekah! Namun jangan lupa
hidangkan dulu minuman untuk para tamuku!"
Maka pergilah sang budak untuk bersedekah, setelah ia
menyuguhkan minuman kepada para tamu Imam Hasan
terlebih dahulu.

Maka para tamu pun hanya mendapatkan suguhan air putih
dari rumah Imam Hasan. Imam Hasan merasa gak enak hati
kepada para tamunya.Tapi dia yakin, bahwa Allah Swt
akan membalas amalnya minimal 10 kali lipat.
Biduk asa seolah menjumpai tambatannya. Saat Imam
Hasan kedatangan seorang tamu lagi yang datang dengan
membawa sebuah nampan. Imam Hasan bangkit dan bergegas
menghampirinya.

"Assalamu'alaikum, wahai Imam!" seru orang yang baru
saja datang. "Wa'alaikum salam warahmatullah..." Imam
membalas. "Apa yang kau bawa?" imam bertanya kepada
orang tersebut. "Ini imam, aku membawakan 6 potong
roti untuk engkau!" kata orang tersebut dengan senyum
terkembang.
"Mungkin ini bukan untukku!" Imam Hasan menukas.
"Mengapa engkau berkata demikian?" sang tamu bertanya
keheranan. "Kalau benar ini untukku, pasti jumlahnya
sepuluh!" Imam berkata yakin karena ia tahu bahwa
Allah akan memberi 10 roti sebagai balasan dari
sepotong roti yang telah ia sedekahkan.
Sang tamu merasa aneh. Ia coba untuk memanjangkan
leher dan menyapukan pandangan ke dalam rumah Imam
Hasan. Sesudah itu ia mengerti bahwa imam sedang
kedatangan banyak tamu.

Orang itu pun kembali ke rumah. Lalu ia tambahkan lagi
4 potong roti sehingga menjadi 10 jumlahnya. Kemudian
ia angkat nampan yang ia bawa, kemudian ia ayunkan
langkah menuju rumah Imam Hasan Al Bashri.
Sesampainya di rumah imam, sang tamu kembali
mengucapkan salam lalu disambut dan dibalas oleh Imam
Hasan. Beliau lalu membuka penutup nampan, kemudian
berujar, "Nah... inilah yang dijanjikan Allah padaku!"
Allah akan membalas setiap kebaikan yang dilakukan
oleh seorang hamba minimal 10 kali lipat. Bilangan
balasan itu bisa terus berganda dan tumbuh semakin
besar. Tergantung pada keikhlasan sang hamba, dan
takaran rezeki yang Allah berikan kepadanya. Bahkan
bilangan itu suatu saat bisa mencapai 700 kali lipat.
Allah Swt berfirman:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha
Mengetahui." (QS. 2:261)

----------------------------------------------------


Di Cipete Jakarta Selatan. Di sebuah sekolah dasar di
sana, seorang pria penjual gorengan bernama Udin
(bukan nama asli) berjualan. Lonceng turun main,
kira-kira akan berbunyi sepuluh menit lagi. Ia tengah
memotong beberapa singkong untuk digoreng.
Singkong seperti kita tahu, berbentuk tabung dan
berkerucut pada ujungnya. Biasanya sebuah singkong
akan dipotong lima bagian. 4 bagian digoreng untuk
dijual, sementara bagian ujung atau pentilnya
disisihkan untuk dibuang. Hari itu, Udin menggoreng
kira-kira 5 buah singkong, dan pentil singkong yang
tersisa pun berjumlah 5 karenanya.

Lonceng istirahat berbunyi, para siswa pun berhamburan
ke luar kelas untuk jajan dan istirahat. Seorang anak
kurus sambil menggigit jari berdiri di ujung gerobak
Udin. Anak ini tidak membeli gorengan seperti siswa
lainnya, juga tidak berbicara sepatah katapun.
Naluri Udin berkata bahwa anak ini tidak punya uang
untuk jajan. Hati kecil menyuruhnya agar 5 pentil
singkong yang ada diberikan saja kepada anak itu. Maka
diambillah beberapa pentil itu. Ia masukkan ke dalam
adonan tepung, kemudian digorenglah. Setelah matang,
Udin menaruhnya di atas kertas lalu disodorkannya
kepada anak itu.

Si anak senang bukan main. Senyumnya mengembang. Udin
turut bahagia melihatnya. Belakangan, Udin tahu bahwa
anak tersebut adalah seorang yatim yang baru saja
kehilangan bapak.

Kejadian pagi itu terus berulang. Udin memberikan
beberapa pentil singkongnya kepada anak yatim itu.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun
hingga anak itu lulus dari Sekolah Dasar. Udin tidak
merasa berat, sebab apa yang ia berikan kepada anak
yatim itu, tiada lain adalah barang yang tiada
berharga bagi siapapun. Dalam pengalamannya berjualan,
tidak ada seorang pun yang mencari pentil singkong
untuk dibeli. Bahkan bila dijual sekalipun dalam
jumlah banyak, pastilah tidak akan laku.

Udin tak berkeberatan memberikan pentil singkongnya
kepada anak itu. Bahkan untuk setiap hari!
Allah Swt akan membalas kebaikan seorang hamba bila ia
membantu saudaranya bahkan hingga 700 kali lipat!
Lebih dari 30 tahun berselang setelah anak yatim itu
lulus. Saat itu, Udin masih mengerjakan rutinitasnya
setiap hari; yaitu berjualan gorengan di sekolah dasar
yang sama. Maka berhentilah sebuah mobil mewah nan
mengkilap tepat di depan gerobak Udin.

Seorang pemuda tampan turun dari mobil. Ia mengenakan
setelan dan dasi yang bermerk. Rambutnya di sisir rapi
dan mengkilat ditimpa sinar matahari.
Melihat calon pembeli dengan mobil bagus, Udin sigap
membuka pembicaraan, "Mau beli gorengan, Den...?!"
Pemuda itu tersenyum dan berkata, "Masa akang lupa
sama saya?" Pertanyaan itu membuat Udin berpikir
singkat, namun ia tidak menemukan jawaban. Udin lalu
bertanya polos, "Memangnya..., Aden ini siapa ya?"
Masih tersenyum, pemuda itu mengatakan, "Saya ini
adalah anak pentil singkong, Kang!" Mendengar itu,
Udin berucap tasbih. Rasa gembira terbit di hatinya
melihat kesuksesan anak ini. Anak pentil singkong yang
dulu kerap berdiri di pinggir gerobaknya.
"Masya Allah.... sudah sukses sekarang ya, Den?!"
Udin bertanya sekali lagi. "Alhamdulillah, Kang!"
jawab si Aden.

Udin lalu menggamit lengan si Aden, diajaknya masuk ke
balik gerobak. Udin menyorongkan sebuah kursi kecil
untuk duduk. Maka duduklah pemuda itu, sementara Udin
meneruskan pekerjaannya.... menggoreng singkong, tempe
dan lain-lain.

Sambil Udin bekerja, pembicaraan mengenai kenangan
lama terulang kembali. Keduanya merajut rasa syukur
kepada Allah Swt Yang telah melimpahkan anugerah tiada
terkira. Pembicaraan tersebut terus berlanjut hingga
berujung pada sebuah kalimat yang diucapkan sang
pemuda.

"Akang... saya ke sini mau berterima kasih!" kata si
pemuda. "Atas apa, Den?!" jawab Udin. "Berterima kasih
atas kebaikan kang Udin kepada saya. Dulu kalau gak
dikasih pentil singkong sama Akang, saya gak bakal
bisa belajar dengan tenang. Kalau belajar gak tenang,
saya gak bakal pintar. Kalau gak pintar, saya gak
bakal bisa lulus sekolah dan sukses seperti
sekarang.... saya ke sini mau berterima kasih ke kang
Udin!" kalimat yang baru diucapkan oleh pemuda begitu
tersusun dan membanggakan hati Udin. Namun Udin masih
berkelit sambil berujar, "Den... sudah gak usah
dipikirkan. Apa yang saya kasih ke Aden berupa pentil
singkong itu kan gak berharga! Ngapain pake terima
kasih segala. Lagian, kalo saya jual gak bakal ada
yang mau...!" Udin mencoba merendah dan menolak
pamrih.

Pemuda masih mengejar dengan satu pertanyaan lagi, dan
ini membuat Udin menjadi bergidik. "Akang..., saya dan
istri berniat haji tahun ini. Saya ingin Kang Udin dan
istri mau menemani kami. Mau kan, Kang?"
Gemuruh rasa terjadi di dada Udin. Tidak pernah
terbayang baginya akan ada seorang hamba Allah yang
mengajaknya untuk menunaikan rukun Islam kelima. Udin
pun mengiyakan, dan pemuda itu pun pergi meninggalkan
Udin.

Udin dan istrinya berangkat haji. Seluruh biaya dan
uang jajan keduanya ditanggung oleh si pemuda.
Barangkali lebih dari Rp 60 juta yang dibayarkan
olehnya. Udin dan istri lalu berangkat ke Baitullah,
menunaikan semua ritual dan kewajiban dalam ibadah
haji. Hingga ia dan istri kembali ke tanah air lagi
dengan selamat.

Sesampainya di tanah air, banyak kerabat, saudara dan
tetangga datang bersilaturahmi. Udin membagikan
oleh-oleh berupa air zamzam, kurma dan banyak lagi.
Banyak orang senang menerima hadiah tersebut. Mereka
pun banyak menanyakan pengalaman Udin dan istri selama
berhaji.

Udin menjawab semua pertanyaan orang yang datang
sebisanya. Hingga saat ada seseorang yang bertanya
tentang bagaimana caranya kang Udin dapat berhaji
bersama istri padahal usahanya hanya sekedar menjual
gorengan.

Rupanya... banyak yang belum tahu dengan cara apa Udin
berangkat haji. Dan memang, ia merahasiakan hal itu
selama ini. Udin pun menjawab seadanya, "Dulu..., saya
sedekah pentil singkong kepada seorang anak yatim, eh
gak taunya dengan sedekah itu saya dan istri berangkat
haji. Kalo tahu begini, coba dulu saya sedekah
singkong beneran sama tuh anak...!"

Udin mencoba berkelakar dengan jawabannya, dan hal itu
membuat hadirin tertawa terbahak mendengarnya. Dalam
hati, Udin bersyukur kepada Allah Swt Yang Sungguh
menepati janji kepada dirinya. Sungguh Allah Swt Maha
Kuasa untuk membalas amal seorang hamba, bahkan hingga
700 kali lipat atau lebih dari itu.

-AI-
0 Responses to "IMAM HASAN"

Posting Komentar